Azan dzuhur selesai dikumandangkan, para santri pun terlihat tergesa-gesa dengan kantong sandal yang digenggamnya. Kadang baju mereka basah kuyup terkena percikan air wudhu. Meski secepat mereka berlari namun barisan panjang melebar itu telah menantinya, hingga akhirnya mereka harus rela dihukum demi keterlambatannya, didalam suatu "marosim" (semacam hukuman bagi yang terlambat, red) yang diadakan oleh para mudabir (pengurus) rayon.
Secara etimologis, marosim mempunyai artian upacara, sidang, atau acara seremonial, sehingga ro'isul marosim mempunyai artian sebagai MC. Terlepas dari itu semua, barisan memanjang yang didirikan oleh para mudabir rayon maupun pengurus OPPM sampai asatidz di bagian tertentu di Gontor disebut dengan marosim. Meski bisa juga dikonotasikan dengan waktu tertentu yang apabila melanggar batasan tersebut sang pelanggar akan dikenakan sangsi, sehingga marosim tidak harus berbentuk barisan memanjang bahkan seorang pun jika terlambat dapat dikenakan marosim.
Memang marosim menjadi kenangan tersendiri bagi para alumni gontor, karena keseharian mereka tidak terlepas dari istilah ini, ataupun bahkan bisa dipastikan tidak ada dari mereka yang pernah nyantri di Gontor yang tidak pernah terkena marosim bagaimanapun bentuknya itu. Maka marosim dalam kehidupan Gontor bisa dikatakan sebagai simbol kedisiplinan yang tinggi.
Mengapa marosim menjadi suatu simbol high discipline? Penulis memandang marosim sebagai icon yang denganya waktu menjadi berharga, para santri diajari untuk dapat menghargai pentingnya waktu, hingga para santri seakan takut untuk melewati waktu sedetikpun agar tidak terkena marosim, tentunya keterlambatan waktu menjadi hal yang ditakuti oleh mereka. Ataupun dengan marosim sebenarnya kita selaku alumni yang juga pernah nyantri di sana dituntut untuk berpikir ekstra bagaimana terhindar darinya dengan cara apapun, maksudnya dengan efisiensi waktu sebaik-baiknya.
Misalnya ketika sempitnya waktu makan dengan dekatnya jaros masuk kelas, supaya efisiensi waktu, kita terpaksa harus mandi terlebih dahulu, membawa buku-buku pelajaran hingga piring untuk dapat pergi ke dapur, kemudian memperhitungkan berapa menit waktu makan agar mempunyai waktu untuk dapat berjalan menuju kelas. Sebuah penyiasatan waktu yang sangat jeli hingga hidup pun menjadi teratur dan waktu pun tidak terpakai sia-sia.
Berangkat dari fenomena marosim ini, penulis ingin mengaitkanya sebagai alternative solusi bagi fenomena buruk yang berkembang di kehidupan masisir, bahkan tidak hanya kehidupan masisir saja, bahkan menurut salah satu ibu pejabat KBRI yang dekat dengan penulis di tingkat pejabat KBRI atau di kehidupan masyarakat Indonesia yang ada di mesir ini, fenomena ini seakan menjadi virus yang harus di berantas. Walaupun jujur ini suatu utopia semata jika marosim –dengan bentuk yang sama seperti di Gontor- digalakkan pada komunitas yang real -bukan di pondok- seperti saat ini-, namun bisa menjadi batu loncatan khususnya kita selaku alumni Gontor yang pernah merasakan kesaktian marosim ini dulu, untuk menerapkanya palng tidak dalam bentuk pemikiran atau mindset, sehingga kita takut untuk terlambat dengan berbagai konsekwensi yang ada.
Bahkan tidak menutup kemungkinan jika marosim di terapkan pada suatu komunitas tertentu, yang sudah mempunya kesepakatan serta komitmen untuk menghargai waktu, sehingga terbentuklah peraturan yang mengikat pengikutnya untuk tidak terlambat pada acara yang mereka adakan, dengan konsekuensi memulai pertemuan tersebut tepat waktu meski jumlah yang sedikit ketika itu, dan memberikan sangsi bagi mereka yang terlambat -tentunya bukan karena udzur syar'i- sesuai dengan hukuman yang telah mereka sepakati. Hukuman yang diharapkan sang pelanggar jera untuk tidak mengulanginya lagi dan menjadi contoh anggota lainya untuk tidak terlambat pada pertemuan selanjutnya, sesuai dengan misi iqob yang termaktub dalam kitab tarbiyah wa at-ta'lim yakni at-ta'qib wa tamsil yang pernah kita pelajari dulu.
Konsep Neo-marosim, juga bisa diterapkan dalam menghadapi kebiasaan waktu karet yang terjadi di mesir ini, dengan merubah cara berpikir kita, baik dimulai dari sang peserta maupun panitia acara. Terkadang panitia sengaja memajukan waktu agar dapat dihadiri oleh peserta yang -sengaja- datang terlambat, atau istilah kasarnya menyediakan waktu molor, yang sebenarnya ini juga “bukan” merupakan tindakan efektif problem solving untuk masalah ini, malahan semakin memberi ruang molor bagi peserta dan mengajak mereka untuk tidak on time. Karena ketika itu juga panitia sudah mempunyai pikiran untuk molor dan tidak mempunyai disiplin serta komitmen yang tegas dengan acaranya.
Maka sebenarnya dimulai dari panitia acara itu sendiri untuk bisa commit dengan waktu acaranya, sehingga bagaimanapun keadaanya acara bisa dilaksanakan tepat waktu. Kemudian faktor kedua bagi peserta untuk dapat merubah pandanganya mengenai timing waktu pertemuan, yakni jika dijanjikan akan dimulai pukul 3 sore misalnya, maka seharusnya tidak berpikir untuk mulai berangkat pada pukul 3 sore itu, tapi harus berpikir pada pukul 3 sudah sampai pada tujuan, agar dapat berangkat sebelumnya dan bisa datang on time.
Bukan menjadi alasan kita hidup di Mesir dengan masyarakatnya yang jarang bisa tepat waktu. Ataupun kadang kita heran lantas tersenyum sendiri dengan kebiasaan janji mereka, yang berkisar antara kalimat ba'da sa'at, bukroh, ba'da usbu' hingga kemudian malghi atau tidak jadi. Tentunya kita tidak mau disamakan dengan mereka, kita adalah bangsa yang sangat menghormati waktu, bahkan seyogyanya sebagai seorang muslim waktu sedetik pun serasa berharga, karena kelak akan dipertanggung jawabkan di akhirat. "Al-waqtu ka as-sayfi in lam to'hu qoto'aka."
Secara etimologis, marosim mempunyai artian upacara, sidang, atau acara seremonial, sehingga ro'isul marosim mempunyai artian sebagai MC. Terlepas dari itu semua, barisan memanjang yang didirikan oleh para mudabir rayon maupun pengurus OPPM sampai asatidz di bagian tertentu di Gontor disebut dengan marosim. Meski bisa juga dikonotasikan dengan waktu tertentu yang apabila melanggar batasan tersebut sang pelanggar akan dikenakan sangsi, sehingga marosim tidak harus berbentuk barisan memanjang bahkan seorang pun jika terlambat dapat dikenakan marosim.
Memang marosim menjadi kenangan tersendiri bagi para alumni gontor, karena keseharian mereka tidak terlepas dari istilah ini, ataupun bahkan bisa dipastikan tidak ada dari mereka yang pernah nyantri di Gontor yang tidak pernah terkena marosim bagaimanapun bentuknya itu. Maka marosim dalam kehidupan Gontor bisa dikatakan sebagai simbol kedisiplinan yang tinggi.
Mengapa marosim menjadi suatu simbol high discipline? Penulis memandang marosim sebagai icon yang denganya waktu menjadi berharga, para santri diajari untuk dapat menghargai pentingnya waktu, hingga para santri seakan takut untuk melewati waktu sedetikpun agar tidak terkena marosim, tentunya keterlambatan waktu menjadi hal yang ditakuti oleh mereka. Ataupun dengan marosim sebenarnya kita selaku alumni yang juga pernah nyantri di sana dituntut untuk berpikir ekstra bagaimana terhindar darinya dengan cara apapun, maksudnya dengan efisiensi waktu sebaik-baiknya.
Misalnya ketika sempitnya waktu makan dengan dekatnya jaros masuk kelas, supaya efisiensi waktu, kita terpaksa harus mandi terlebih dahulu, membawa buku-buku pelajaran hingga piring untuk dapat pergi ke dapur, kemudian memperhitungkan berapa menit waktu makan agar mempunyai waktu untuk dapat berjalan menuju kelas. Sebuah penyiasatan waktu yang sangat jeli hingga hidup pun menjadi teratur dan waktu pun tidak terpakai sia-sia.
Berangkat dari fenomena marosim ini, penulis ingin mengaitkanya sebagai alternative solusi bagi fenomena buruk yang berkembang di kehidupan masisir, bahkan tidak hanya kehidupan masisir saja, bahkan menurut salah satu ibu pejabat KBRI yang dekat dengan penulis di tingkat pejabat KBRI atau di kehidupan masyarakat Indonesia yang ada di mesir ini, fenomena ini seakan menjadi virus yang harus di berantas. Walaupun jujur ini suatu utopia semata jika marosim –dengan bentuk yang sama seperti di Gontor- digalakkan pada komunitas yang real -bukan di pondok- seperti saat ini-, namun bisa menjadi batu loncatan khususnya kita selaku alumni Gontor yang pernah merasakan kesaktian marosim ini dulu, untuk menerapkanya palng tidak dalam bentuk pemikiran atau mindset, sehingga kita takut untuk terlambat dengan berbagai konsekwensi yang ada.
Bahkan tidak menutup kemungkinan jika marosim di terapkan pada suatu komunitas tertentu, yang sudah mempunya kesepakatan serta komitmen untuk menghargai waktu, sehingga terbentuklah peraturan yang mengikat pengikutnya untuk tidak terlambat pada acara yang mereka adakan, dengan konsekuensi memulai pertemuan tersebut tepat waktu meski jumlah yang sedikit ketika itu, dan memberikan sangsi bagi mereka yang terlambat -tentunya bukan karena udzur syar'i- sesuai dengan hukuman yang telah mereka sepakati. Hukuman yang diharapkan sang pelanggar jera untuk tidak mengulanginya lagi dan menjadi contoh anggota lainya untuk tidak terlambat pada pertemuan selanjutnya, sesuai dengan misi iqob yang termaktub dalam kitab tarbiyah wa at-ta'lim yakni at-ta'qib wa tamsil yang pernah kita pelajari dulu.
Konsep Neo-marosim, juga bisa diterapkan dalam menghadapi kebiasaan waktu karet yang terjadi di mesir ini, dengan merubah cara berpikir kita, baik dimulai dari sang peserta maupun panitia acara. Terkadang panitia sengaja memajukan waktu agar dapat dihadiri oleh peserta yang -sengaja- datang terlambat, atau istilah kasarnya menyediakan waktu molor, yang sebenarnya ini juga “bukan” merupakan tindakan efektif problem solving untuk masalah ini, malahan semakin memberi ruang molor bagi peserta dan mengajak mereka untuk tidak on time. Karena ketika itu juga panitia sudah mempunyai pikiran untuk molor dan tidak mempunyai disiplin serta komitmen yang tegas dengan acaranya.
Maka sebenarnya dimulai dari panitia acara itu sendiri untuk bisa commit dengan waktu acaranya, sehingga bagaimanapun keadaanya acara bisa dilaksanakan tepat waktu. Kemudian faktor kedua bagi peserta untuk dapat merubah pandanganya mengenai timing waktu pertemuan, yakni jika dijanjikan akan dimulai pukul 3 sore misalnya, maka seharusnya tidak berpikir untuk mulai berangkat pada pukul 3 sore itu, tapi harus berpikir pada pukul 3 sudah sampai pada tujuan, agar dapat berangkat sebelumnya dan bisa datang on time.
Bukan menjadi alasan kita hidup di Mesir dengan masyarakatnya yang jarang bisa tepat waktu. Ataupun kadang kita heran lantas tersenyum sendiri dengan kebiasaan janji mereka, yang berkisar antara kalimat ba'da sa'at, bukroh, ba'da usbu' hingga kemudian malghi atau tidak jadi. Tentunya kita tidak mau disamakan dengan mereka, kita adalah bangsa yang sangat menghormati waktu, bahkan seyogyanya sebagai seorang muslim waktu sedetik pun serasa berharga, karena kelak akan dipertanggung jawabkan di akhirat. "Al-waqtu ka as-sayfi in lam to'hu qoto'aka."
Post a Comment