Headlines News :
Home » » Senja Merah Di Kota Surabaya

Senja Merah Di Kota Surabaya

Written By Cakrawala Magazine on Monday, November 26, 2012 | 2:51 AM






Lalu lalang manusia siang hari ini tampak sangat padat sekali, tak seperti biasanya hari ini terasa amat sesak sekali. Aktifitas penduduk kota Surabaya yang beraneka ragam serta ditambah lagi dengan banyaknya kendaraan roda empat dan roda dua di jalan raya yang penuh sesak berebut jalan saling mendahului, makin menambah kacaunya suasana kota Surabaya siang hari itu. Seandainya saja setiap individu dari mereka memiliki kesadaran untuk lebih tertib di jalan raya, kemacetan in tidak akan terjadi. Surabaya adalah kota terpadat kedua di Indonesia setelahJakarta. Banyak sekali pendatang dari luar kota Surabaya yang mengadu nasibnya di kotatempat lahirku ini.

Aku berada tepat diantara ramainya kerumunan kendaraan itu, “Huuuuuhhh”, tak bisa dibayangkan betapa stresnya otak ini. Tapi demi sesuap nasi aku harus rela melakukan ini semua. Ya namaku Maulana, tapi sejak kecil teman-teman lebih akrab memanggilku Molen. Aku hanyalah seorang penjual koran asongan di jalanan. Setiap hari aku harus rela kepanansan, kusut, kusam dan kucel. Malahan terkadang aku juga harus kedinginan berada di kehidupan jalanan yang keras. Itu semua aku lakukan agar aku bisa menyambung hidupku setiap hari. Hasilnya sich tak seberapa, hanya bisa untuk beli “sego kucing” yang cuma mampu untuk mengganjal lambung sebelah kiriku saja. Tapi itu semua harus aku syukuri, karena nasibku lebih beruntung daripada pengemis di jalanan,yang menggantungkan nasibnya hanya dari belas kasih orang lain.

“Len,” terdengar suara lelaki memanggilku dari kejauhan. Ternyata Cak Prapto, teman senasibku berjualan koran di jalanan. Tapi dia lebih dahulu berjualan koran daripada aku. Cak Prapto inilah yang awalnya menawariku untuk berjualan koran di jalanan semenjak kedua orang tuaku meninggal 5 tahun silam.
“Ono opo, cak?” tanyaku dengan bahasa jawa kental khas Surabaya, sambil mengusap keringat di dahi yang mengucur deras. Panasnya mentari siang hari ini bikin aku seperti habis mandi.
“Udah habis berapa koranmu, len. Masih banyak ta ?" tanya Cak Prapto sambil berjalan menuju ke arahku. Setiap hari aku dan Cak prapto selalu bersaing dalam menjajakan koran kami, tapi bukan berarti kami bermusuhan. Itu hanya taktik kami untuk lebih semangat dalam menjual koran. Karena nanti hasilnya akan kami kumpulkan untuk makan kami sehari-hari.“Lumayan akeh se, cak. Tinggal 3 koran lagi. Sampeyan dewepiye, cak. Tinggal berapa koran lagi?” tanyaku lanjut dengan 

antusias.“Alhamdulillah, len. Hari ini semuanya habis laku terjual, maklumlah beritanya kan lagi hangat banget nich,” jawab Cak Prapto sambil tersenyum lebar dan puas.Sudah hampir dua bulan lebih ini, berita tentang lumpur Lapindo yang semakin parah memenuhi halaman depan headline setiap koran di Surabaya. Termasuk koran yang sedang kujual saat ini. Entah kenapa sudah hampir dua tahun lebih, masalah lumpur Lapindo ini masih juga belum menemukan titik temu pemecahannya. 

Padahal jumlah korban sudah semakin banyak, baik itu berupa harta dan juga nyawa. Sebagai sesama rakyat kecil aku hanya bisa ikut berdoa agar Allah sudi kiranya memaafkan dan memberikan jalan keluar secepatnya. “Len, sepertinya hari ini kita sudah dulu ya jualannya, sebentar lagi kan sudah hampir masuk waktu maghrib. Gimana kalau kita beristirahat sebentar di masjid Al-Falah depan KBS sana, sambil menanti saat buka puasa." ajak Cak Prapto.

Tanpa kata, kamipun berjalan beriringan, sambil sesekali terdengar canda tawa. Sedikit obat pelepas dan penghancur peluh dan lelah setelah seharian berjualan di bawah terik mentari.Tak lama kemudian, “Allohu Akbar-Allohu Akbar……,terdengar suara adzan maghrib dari menara masjid yang berada tepat dijantung kota Surabaya ini.

“Alhamdulillah…akhirnya datang juga waktu buka puasa, Len,” kata Cak Prapto kepadaku dengan nada lega.
 
“Iya kang, akhirnya selesai juga puasa kita hari ini." sahutku pelan.

Setelah selesai meneguk segelas teh hangat dan dua buah gorengan “ote-ote”, kami berdua bergegas mengambil wudhu dan melaksanakan sholat maghrib berjamaah bersama dengan warga Surabaya yang lain.Suara imam masjid ini sangat merdu sekali, kataku dalam hati. Seluruh jiwa dan ragaku ikut terhanyut dalam lantunan surat Al-Ashr yang ditartilkannya secara sempurna. Sungguh bacaan yang sangat indah, tak pernah aku mendengarkan sebelumnya. Terbayang dalam benakku, jika suatu saat nanti aku mati dan berada di akhirat aku bertemu dan menghadap ALLAH, sang Maha Perkasa. 

Sanggupkah diriku mempertanggungjawabkan semua perbuatanku selama ini?? “Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, melainkan orang yang beriman dan beramal sholeh”. Tak terasa air mata menetes membasahi pipiku. Terharu hati ini, ingin rasanya memutar kembali waktu dan memperbaiki semua hidupku.Selesai sholat berjamaah aku duduk di emperan masjid dekat pintu keluar. Aku melamun lama di sana. Pikiranku menerawang jauh ke masa lalu. Masa di mana masih ada bapak dan ibu yang menemaniku, menimangku, memanjakanku. Walaupun dulu kami hanya hidup bertiga, dengan keadaan yang pas-pasan, namun kami tetap merasakan bahagia. Karena aku mempunyai orang tua yang sholih dan sholihah serta bijaksana. Bapak yang selalu mengajariku mengaji membaca Al-Qur’an, ibu yang selalu menemani dan membelaiku ketika aku tidur. Sampai akhirnya datang hari itu, hari dimana sebuah truk dengan sopir yang mabuk menabrak kedua orang tuaku yang sedang berjualan nasi pecel di warung pinggir jalan. Seketika itu nyawa kedua orang tuaku melayang. Tanpa terasa di tengah-tengah lamunanku, aku tertidur pulas di depan teras masjid. Beban kehidupan jalanan yang terasa begitu berat di pundakku, kini terasa sedikit lega….
 
“Len….Len…!" suara Cak Prapto membuatku terperanjat dari tidur pulasku.

"Astaghfirulloh, cak. Sepurane sing akeh yo..” maaf banget lho cak, tadi aku ketiduran disini habis sholat maghrib. “Jam berapa sekarang, cak? Udah sholat Isya ya?” tanyaku kebingungan sambil mengucek-ngucek mata.

“Ya jelas sudah dari tadi to Len, ini kan dah jam 8 malam…, ayo kamu mau pulang ga ke rumah?” Tanya Cak Prapto kepadaku sambil menjulurkan tangannya ke arahku. 
“Cak, aku pengen banget bisa menjadi seorang kyai seperti Zainudin.MZ. Bisa memberikan ilmu agama ke sesama muslim, menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat. Tapi opo iso yo cak? Wongsekolah dasar aja aku ga lulus. “Belajar di pondok juga aku ga pernah, gimana bisa jadi kyai?” tanyaku membuka percakapan malam itu.
"Walah, Len. Kamu itu pinter, le. Walaupun kamu ga pernah sekolah, tapi kamu kan pinter baca Al-Qur’an, hafal 30 juz lagi. Dibandingkan sama aku, ya aku itu gak ada apa-apanya le," Jawab Cak Prapto membesarkan hatiku.

"Iya, cak. Ini semua berkat almarhum Bapak yang selalu mengajariku dan membimbingku dalam mengaji Al-Qur’an."
Ingatanku kembali ke saat dulu, saat ayahku masih hidup dan mengajariku dengan ketegasan dan perhatian beliau atasku. Sejenak aku termenung dan sedikit mengumpulkan kekuatan untuk kembali sadar dari kesedihan. (bersambung)
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2011. Cakrawala Magazine - All Rights Reserved