Headlines News :
Home » , » Manusia Setengah Dewa

Manusia Setengah Dewa

Written By Cakrawala Magazine on Wednesday, February 27, 2013 | 1:44 AM


"Kenapa aku membuka buku ini?". Laki-laki yang bergumam sendiri, diantara bingkai-bingkai foto yang bergelantungan pada dinding-dinding kamarnya, merasa bahwa gumamnya telah mengejutkan buku-buku yang saling beradu pandang di atas ranjang, tempat ia biasa bergurau dengan mimpi. Sejurus kemudian, ia kembali memastikan keheningan kamarnya, hanya berdua saja. Mereka adalah aku dan bukuku.
Ah, aku pun tak tahu dari mana harus memulai tulisan ini. Keraguan yang sudah lama berproses di dalam pikiranku, kini menjelma bak gamang yang sudah menjadi hasil akhir pertandingan. Jiwaku memerangi formalitas kehidupan yang kaku. Alam pikirku membaca buku ini adalah kesederhanaan yang rumit, sesuatu yang harus dibayar dengan nilai. Walau pada hakekatnya, orang dan handai taulanku hanya meminta isi-isi hariku, bukan nilaiku.
Dan sepanjang hariku, di atas himpitan meja dan bangku, diantara desakan bis kota dan waktu, semua teman saling berganti menyebutkan nama yang sama sekali tidak ingin aku dengar. “Muqoror kamu gimana, Zih?”, “Nazih sudah khatam baca muqorornya?”, “Zih, muqorormu itu aneh-aneh pelajarannya!”. Rupanya, muqoror adalah julukan bagi kesederhanaan yang rumit itu, buku tengil pengganggu keharmonisan jiwa dan alam pikirku. “Muqoror, muqoror dan muqoror. Argh!!! Ingin kubunuh kau di dalam otakku!”. Dan “Lhaappp...!!!”, aku tertidur tanpa harus membunuh buku-buku itu terlebih dahulu. Nyenyak dalam sesal.
Tadi malam, selimut terlalu cepat bergerak dan menutup tubuhku. Sehingga aku lupa merapatkan tabir dan jendela kamarku. Pantas saja tiba-tiba angin menampar wajahku keras. Segera kuobati sakitnya dengan air suci, lalu kuceritakan kepada malam dan anginnya, bahwa aku bersahabat dengan tuhan di waktu fajar. Inspirasi tertinggi saat hening dan khusyuk. Sering kali, bahkan setiap waktuku bersahabat dengan-Nya, aku menanyakan milik siapa kah hari-hari ini. Hari yang aku sendiri tidak tahu kapan aku memulainya dan bagaimana aku harus mengakhirinya. Dan aku pun meminta pada-Nya agar Dia tetaplah sahabat lima waktuku, meski harus kuterima kenyataan manis, bahwa aku buta dalam melihat-Nya.
Ketenangan adalah nilai untuk pagi hari yang selamanya hadir setelah malam. Aku sisakan secangkir teh, menemani meja dan gurauan orang-orang di rumah sewaku yang tua. Kutinggalkan koran di balkon rumah, berjalan menjauhi kegaduhan waktu yang selalu mendorongku berangkat ke kampus lebih awal. Dan tak lupa aku membawa si Tengil dalam gendongan tas ransel. Beratnya mengalahkan tas dan pundakku, betapa tebalnya dia. Segera ku urungkan marahku yang hendak meluap pada si Tengil, supaya aku dapat berdiri seimbang di dalam bis kota ini. Sudah setengah jam, bis berjalan lalu berhenti. Ia nampak gagah diantara ratusan mobil lainnya yang terjebak dalam kemacetan. Seperti aku yang gagah berdiri diantara puluhan penumpang bis yang duduk berserakan di atas kursi, sehingga aku dapat melihat keluar. Dan kulihat kawanku di pemberhentian bis selanjutnya, berdiri tepat di bahu jalan menanti untuk bisa merapat bersamaku di atas sini.
Orang ini. Aku mengenalnya dari buku tebal yang tertutup oleh hijab di balik kerudungnya. Ketika tak ada lagi buku untuk dibeli, karena sudah habis jumlah yang ada, gadis pinangan tuhan itu meminjamiku buku yang baru saja dibayarnya. Bayangkan saja, di depan pintu keluar toko buku, aku mengira dia yang tengah mendekatiku hendak memberikan bagian bukunya, tapi bahkan aku harus memfotokopinya. Jadilah sekarang Si Tengil tiruan ini milikku.
Entah nasib atau keberuntungan belaka, aku membayar buku itu dengan harga lebih murah kepada tukang fotokopi. Atau mungkin karena gadis inilah sang empunya fotokopi. Dewi fortuna memang berpihak padaku kala itu. Setelah sebelumnya hampir aku tidak mendapatkan buku, dompetku yang bermuka masam kembali tersenyum.
Segera kutaruh lamunanku ke dalam ransel. Gadis yang sudah lama berdiri di depanku menyapa dalam tanya “Bagaimana muqorormu kang? udah selsai dibaca?”. Logat sunda yang kental. Dan untuk yang kesekian kalinya, kalimat-kalimat itu memerangi isi otakku.
Wajah lugu yang tak pernah beranjak dari tempatnya. Gadis itu melemparkan senyumnya padaku. Hari ini memang beda. Aku yang membenci buku-buku ku akan melepas gelar Mahasiswa yang telah lama disematkan padaku. Sedangkan gadis pinangan tuhan ini, sesegera mungkin melepas masa lajangnya. Ujian akhir di kampusku lain dari pada yang lain. Lulus strata 1 tanpa skripsi. Dan si Tengil adalah paku terakhir, cantolan tempatku menggantungkan jubah kemahasiswaanku. “aku belum, tapi insyaallah ujian kali ini mudah saja”, jawabku ringan. Walaupun sebenarnya, alam pikirku masih bergejolak memerangi kesederhanaan yang rumit itu.
Sekolah. Apa arti sekolah dalam perspektif formalitas hidup yang materiil? Lahir, sekolah, bekerja dan mati? Tuhanku tidak pernah menyuruhku demikian. “Carilah ilmu, nak!”. Ilmuku tidak menjadi kebaikan orang dan hanya menuliskan tinta hitam di atas sebuah buku. 7, 8, 6 dan 9 adalah angka-angka kemunafikan saat aku diam.
Lulus menjadi sarjana. Merapikan semua berkas. Memenjarakan nilai-nilaiku di dalam sebuah map bersama surat tanda tamat sekolah. Menggenggamnya erat di samping badan, lantas melenggang gagah di sepanjang jalan arah gedung perkantoran. Dan di sela bibir yang nampak mengering, tertancap sebatang rumput liar. Lolongan lagu “Sarjana Muda” milik Iwan Fals itu patutnya dihafal oleh seluruh mahsiswa dari universitas manapun. Cukup mengenaskan.
[---]
Cokelat. Tinggi. Batu. Kusam. Tua. Kumuh. Percaya saja, ruang ujianku berada jauh di atas tanah. Pemandangan khas Universitas Al Azhar Kairo. Syukur saja tidak terlambat tiba di kampus. Ruang jalan sempit menghimpit penyebab kemacetan, cukup membuat jeraku habis berdiri di dalam bis.  Menunggu wajah gerbang kampus yang tak muncul juga. Demikian halnya Difa.
Dari gerbang kampus kami pisahkan haluan kami. Mulai kupijaki anak-anak tangga dari gedung langit ini satu persatu. Hingga hitungan yang ke dua ratus enam puluh dua, aku dapati seorang tua dengan jenggot yang mulai memutih, tengah bersandar pada daun pintu ruang tirani, menantikan hadirku. Tirani bagi setiap kepala dan isinya. Ruang ujian yang hening berdebu. Pertarungan belum berakhir, bahkan baru dimulai.
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2011. Cakrawala Magazine - All Rights Reserved