"Kenapa aku membuka buku ini?".
Laki-laki yang bergumam sendiri, diantara bingkai-bingkai foto yang
bergelantungan pada dinding-dinding kamarnya, merasa bahwa gumamnya telah mengejutkan
buku-buku yang saling beradu pandang di atas ranjang, tempat ia biasa bergurau
dengan mimpi. Sejurus kemudian, ia kembali memastikan keheningan kamarnya,
hanya berdua saja. Mereka adalah aku dan bukuku.
Ah, aku pun tak tahu dari mana harus memulai
tulisan ini. Keraguan yang sudah lama berproses di dalam pikiranku, kini
menjelma bak gamang yang sudah menjadi hasil akhir pertandingan. Jiwaku
memerangi formalitas kehidupan yang kaku. Alam pikirku membaca buku ini adalah
kesederhanaan yang rumit, sesuatu yang harus dibayar dengan nilai. Walau pada
hakekatnya, orang dan handai taulanku hanya meminta isi-isi hariku, bukan
nilaiku.
Dan sepanjang hariku, di atas himpitan meja
dan bangku, diantara desakan bis kota dan waktu, semua teman saling berganti
menyebutkan nama yang sama sekali tidak ingin aku dengar. “Muqoror kamu gimana,
Zih?”, “Nazih sudah khatam baca muqorornya?”, “Zih, muqorormu itu aneh-aneh
pelajarannya!”. Rupanya, muqoror adalah julukan bagi kesederhanaan yang rumit
itu, buku tengil pengganggu keharmonisan jiwa dan alam pikirku. “Muqoror,
muqoror dan muqoror. Argh!!! Ingin kubunuh kau di dalam otakku!”. Dan “Lhaappp...!!!”,
aku tertidur tanpa harus membunuh buku-buku itu terlebih dahulu. Nyenyak dalam
sesal.
Tadi malam, selimut terlalu cepat bergerak dan
menutup tubuhku. Sehingga aku lupa merapatkan tabir dan jendela kamarku. Pantas
saja tiba-tiba angin menampar wajahku keras. Segera kuobati sakitnya dengan air
suci, lalu kuceritakan kepada malam dan anginnya, bahwa aku bersahabat dengan
tuhan di waktu fajar. Inspirasi tertinggi saat hening dan khusyuk. Sering kali,
bahkan setiap waktuku bersahabat dengan-Nya, aku menanyakan milik siapa kah
hari-hari ini. Hari yang aku sendiri tidak tahu kapan aku memulainya dan
bagaimana aku harus mengakhirinya. Dan aku pun meminta pada-Nya agar Dia
tetaplah sahabat lima waktuku, meski harus kuterima kenyataan manis, bahwa aku
buta dalam melihat-Nya.
Ketenangan adalah nilai untuk pagi hari yang
selamanya hadir setelah malam. Aku sisakan secangkir teh, menemani meja dan
gurauan orang-orang di rumah sewaku yang tua. Kutinggalkan koran di balkon
rumah, berjalan menjauhi kegaduhan waktu yang selalu mendorongku berangkat ke
kampus lebih awal. Dan tak lupa aku membawa si Tengil dalam gendongan tas
ransel. Beratnya mengalahkan tas dan pundakku, betapa tebalnya dia. Segera ku
urungkan marahku yang hendak meluap pada si Tengil, supaya aku dapat berdiri
seimbang di dalam bis kota ini. Sudah setengah jam, bis berjalan lalu berhenti.
Ia nampak gagah diantara ratusan mobil lainnya yang terjebak dalam kemacetan.
Seperti aku yang gagah berdiri diantara puluhan penumpang bis yang duduk
berserakan di atas kursi, sehingga aku dapat melihat keluar. Dan kulihat
kawanku di pemberhentian bis selanjutnya, berdiri tepat di bahu jalan menanti
untuk bisa merapat bersamaku di atas sini.
Orang ini. Aku mengenalnya dari buku tebal
yang tertutup oleh hijab di balik kerudungnya. Ketika tak ada lagi buku untuk
dibeli, karena sudah habis jumlah yang ada, gadis pinangan tuhan itu
meminjamiku buku yang baru saja dibayarnya. Bayangkan saja, di depan pintu
keluar toko buku, aku mengira dia yang tengah mendekatiku hendak memberikan bagian
bukunya, tapi bahkan aku harus memfotokopinya. Jadilah sekarang Si Tengil
tiruan ini milikku.
Entah nasib atau keberuntungan belaka, aku
membayar buku itu dengan harga lebih murah kepada tukang fotokopi. Atau mungkin
karena gadis inilah sang empunya fotokopi. Dewi fortuna memang berpihak padaku
kala itu. Setelah sebelumnya hampir aku tidak mendapatkan buku, dompetku yang bermuka
masam kembali tersenyum.
Segera kutaruh lamunanku ke dalam ransel.
Gadis yang sudah lama berdiri di depanku menyapa dalam tanya “Bagaimana
muqorormu kang? udah selsai dibaca?”. Logat sunda yang kental. Dan untuk
yang kesekian kalinya, kalimat-kalimat itu memerangi isi otakku.
Wajah lugu yang tak pernah beranjak dari
tempatnya. Gadis itu melemparkan senyumnya padaku. Hari ini memang beda. Aku
yang membenci buku-buku ku akan melepas gelar Mahasiswa yang telah lama
disematkan padaku. Sedangkan gadis pinangan tuhan ini, sesegera mungkin melepas
masa lajangnya. Ujian akhir di kampusku lain dari pada yang lain. Lulus strata
1 tanpa skripsi. Dan si Tengil adalah paku terakhir, cantolan tempatku
menggantungkan jubah kemahasiswaanku. “aku belum, tapi insyaallah ujian kali
ini mudah saja”, jawabku ringan. Walaupun sebenarnya, alam pikirku masih
bergejolak memerangi kesederhanaan yang rumit itu.
Sekolah. Apa arti sekolah dalam perspektif
formalitas hidup yang materiil? Lahir, sekolah, bekerja dan mati? Tuhanku tidak
pernah menyuruhku demikian. “Carilah ilmu, nak!”. Ilmuku tidak menjadi kebaikan
orang dan hanya menuliskan tinta hitam di atas sebuah buku. 7, 8, 6 dan 9
adalah angka-angka kemunafikan saat aku diam.
Lulus menjadi sarjana. Merapikan semua berkas.
Memenjarakan nilai-nilaiku di dalam sebuah map bersama surat tanda tamat
sekolah. Menggenggamnya erat di samping badan, lantas melenggang gagah di
sepanjang jalan arah gedung perkantoran. Dan di sela bibir yang nampak
mengering, tertancap sebatang rumput liar. Lolongan lagu “Sarjana Muda” milik
Iwan Fals itu patutnya dihafal oleh seluruh mahsiswa dari universitas manapun. Cukup
mengenaskan.
[---]
Cokelat. Tinggi. Batu. Kusam. Tua. Kumuh.
Percaya saja, ruang ujianku berada jauh di atas tanah. Pemandangan khas
Universitas Al Azhar Kairo. Syukur saja tidak terlambat tiba di kampus. Ruang
jalan sempit menghimpit penyebab kemacetan, cukup membuat jeraku habis berdiri
di dalam bis. Menunggu wajah gerbang
kampus yang tak muncul juga. Demikian halnya Difa.
Dari gerbang kampus kami pisahkan haluan kami.
Mulai kupijaki anak-anak tangga dari gedung langit ini satu persatu. Hingga
hitungan yang ke dua ratus enam puluh dua, aku dapati seorang tua dengan
jenggot yang mulai memutih, tengah bersandar pada daun pintu ruang tirani,
menantikan hadirku. Tirani bagi setiap kepala dan isinya. Ruang ujian yang
hening berdebu. Pertarungan belum berakhir, bahkan baru dimulai.
Post a Comment